Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Benarkah, ”Selama Berhukum dengan Alquran,” Bukan Syarat Ketaatan pada Ulil Amri?

Oleh Syaikh Prof. Dr. Hakim bin ‘Ubaisan al-Muthairi hafizhahullah

Pertanyaan:

Ya Syaikhuna, sebagian orang yang mengaku di atas sunah berkata bahwa hadis, “Selama sang pemimpin berhukum dengan Alquran,” bukanlah syarat di dalam masalah ketaatan terhadap ulil amri. Mereka mengatakan bahwa dalil mafhum mukhalafah di dalam hadis tersebut tidak sah sehingga tidak bisa dinilai sebagai syarat yang membatasi (masalah tersebut), maka dari itu penguasa yang menerapkan hukum selain hukum Allah dari kalangan orang-orang sekuler tetap dinyatakan sebagai ulil amri yang berhak mendapatkan ketaatan syar'i dan haram untuk menyelisihi perintahnya.

Kami memohon penjelasan Anda...

Jawaban:

Tidak ada satu pun dari kalangan Ahlus Sunnah dan para ulama fikihnya yang menyatakan bahwa syarat di hadis tersebut tidak dapat dipahami, bukanlah syarat alias tidak sah. Juga tidak ada satu pun ahli fikih atau ahli usul fikih yang menyatakan sedemikian rupa. 

Terkait dengan hadis tersebut, ada banyak lafaznya, sebagaimana lafaz riwayat Imam Ahmad dan at-Tirmidzi dengan sanad yang sahih,

يا أيها الناس اتقوا الله، وإن أمر عليكم عبد حبشي مجدع فاسمعوا له وأطيعوا ما أقام لكم كتاب الله

“Wahai, manusia. Bertakwalah kepada Allah. Meskipun kalian dipimpin oleh budak dari Habasyah (Ethiopia) yang cacat hidung atau telinganya, maka dengar dan taatilah selama ia menegakkan pada kalian Kitabullah.”

Pada riwayat lain juga, yaitu riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang sahih,

فاسمعوا له وأطيعوا، ما قادكم بكتاب الله

“Maka dengarkanlah dan taatlah kepadanya, yaitu selama dia memimpin kalian dengan Alquran.”

Dan lafaznya dalam Shahih Muslim,

وَلَوْ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا

“Andaikan seorang budak diangkat sebagai pemimpin kalian dan ia menuntun kalian dengan Alquran, maka dengarlah dan taatilah.”

Kalimat, “Yaqudukum bi kitabillah,” (يقودكم بكتاب الله) adalah jumlah fi'liyyah yang menyifati hamba sahaya tersebut dan dia berposisi sebagai muqayyid (mengikat/bernilai sebagai syarat) sehingga memberikan batasan kepada maksud lafaz “عبد”/hamba yang sifat asalnya mutlak, masuk ke setiap jenis hamba.

Adapun kalimat, “Maa qadakum,” (ما قادكم) atau, “Maa aqama lakum,” (ما أقام لكم), lafaz, “Maa,” (ما) berposisi sebagai mashdar zamaniyyah yang bermakna waktu (yang maknanya adalah di saat waktu masih memimpin) sehingga arti yang tepat adalah,

مدة إقامته للكتاب وإقامته أحكامه،

“Selama dia menegakkan Alquran dan menegakkan hukum-hukumnya.”

مدة قيادته لكم بالكتاب وأحكامه.

“Selama dia memimpin atas kalian dengan Alquran dan hukum-hukumnya.”

Ini adalah sebuah syarat dan qayyid (pengikat) yang terang benderang yang secara lafaznya saja dapat dipahami hanya dengan membacanya dan masalah ini persis dengan ucapan,

ما أقاموا الصلاة

“Selama mereka masih menegakkan salat.”

Secara makna juga benar jika kita pahami sebagaimana yang saya jelaskan karena permasalahan imarah (pemerintahan) dalam Islam dan masalah mendengar serta menaati (pemimpin) ini disyariatkan dengan tujuan untuk menegakkan hukum Allah, syariat-Nya, dan syariat rasul-Nya, sebagaimana disebutkan oleh Allah ketika Ia menjelaskan tujuan dari pengutusan para rasul.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

ﻭَﻣَﺎٓ ﺃَﺭْﺳَﻠْﻨَﺎ ﻣِﻦ ﺭَّﺳُﻮﻝٍ ﺇِﻟَّﺎ ﻟِﻴُﻄَﺎﻉَ ﺑِﺈِﺫْﻥِ ﭐﻟﻠَّﻪ

“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.” (QS.an-Nisa: 64)

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

ﻗُﻞْ ﺍَﻃِﻴْﻌُﻮﺍ ﺍﻟﻠّٰﻪَ ﻭَﺍﻟﺮَّﺳُﻮْﻝَ ۚ ﻓَﺎِﻥْ ﺗَﻮَﻟَّﻮْﺍ ﻓَﺎِﻥَّ ﺍﻟﻠّٰﻪَ ﻟَﺎ ﻳُﺤِﺐُّ ﺍﻟْﻜٰﻔِﺮِﻳْﻦَ

“Katakanlah (Muhammad), ‘Taatilah Allah dan Rasul. Sedangkan jika kamu berpaling, maka ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang kafir.” (QS. Ali ‘Imran: 32)

Jadi, barang siapa berpaling dari taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan juga menjauhinya, maka dia tergolong orang-orang yang kafir dan bukanlah orang yang beriman sehingga tidak ada baginya ketaatan atau didengarkan perintahnya, bahkan tidak berhak baginya keikutsertaan dalam tali kekuasaan umat Islam, apa lagi menguasai umat Islam!

Imam al-Atsram berkata dalam Nasikh al-Hadits wa Mansukhuh,

ﻓﺎﺧﺘﻠﻔﺖ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﻓﻲ ﻇﺎﻫﺮﻫﺎ، ﻓﺘﺄﻭﻝ ﻓﻴﻬﺎ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺒﺪﻉ.

ﻓﺄﻣﺎ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ: ﻓﻘﺪ ﻭﺿﻌﻮﻫﺎ ﻣﻮﺍﺿﻌﻬﺎ، ﻭﻣﻌﺎﻧﻴﻬﺎ ﻛﻠﻬﺎ ﻣﺘﻘﺎﺭﺑﺔ ﻋﻨﺪﻫﻢ.

ﻓﺄﻣﺎ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺒﺪﻉ: ﻓﺘﺄﻭﻟﻮﺍ ﻓﻲ ﺑﻌﺾ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﻣﻔﺎﺭﻗﺔ ﺍﻷﺋﻤﺔ ﻭﺍﻟﺨﺮﻭﺝ ﻋﻠﻴﻬﻢ.

ﻭﺍﻟﻮﺟﻪ ﻓﻴﻬﺎ ﺃﻥ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﻳﻔﺴﺮ ﺑﻌﻀﻬﺎ ﺑﻌﻀﺎً، ﻭﻳﺼﺪﻕ ﺑﻌﻀﻬﺎ ﺑﻌﻀﺎ

“Zhahir dari hadis-hadis ini nampak saling berselisih sehingga Ahlul Bid‘ah berusaha membuat-buat takwil.

Adapun Ahlus Sunnah, maka mereka meletakkanya semua hadis-hadis itu sesuai tempatnya, sedangkan maknanya adalah berdekatan menurut mereka.

Adapun Ahlul Bid‘ah, mereka membuat takwil atas sebagian hadis-hadis ini dan sikap mereka ini termasuk bentuk pemberontakan terhadap para ulama yang telah menjelaskan hadis-hadis tersebut.

Sehingga sisi metode yang tepat dalam memahami hadis-hadis ini adalah dengan cara mentafsirkan satu sama lainnya dan dikumpulkan semunya sehingga keluar hasil bahwa hadis-hadis yang ada dalam bab ini saling membenarkan dan saling menjelaskan.”

Hadis Abu Hurairah yang berlafaz, “Barang siapa yang taat kepada imam,” dijelaskan oleh hadis Abu Hurairah yang kedua, yaitu yang berlafaz, “Barang siapa yang menaati pemimpinku.” Lalu datang hadis lainnya yang menjelaskan perihal, “Pemimpinku,” yaitu hadis ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi was sallam mengutus ‘Abdullah bin Hudzafah dan pasukannya, lantas dia menyuruh pasukannya untuk masuk ke dalam api unggun yang mereka nyalakan. Ketika mereka kembali, mereka mengabarkan kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi was sallam hal tersebut, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi was sallam bersabda,

ﻣﻦ ﺃﻣﺮﻛﻢ ﻣﻨﻬﻢ ﺑﻤﻌﺼﻴﺔ ﻓﻼ ﺗﻄﻴﻌﻮﺍ

“Barang siapa yang memerintahkan kalian dari para pemimpinku dengan perintah yang mengandung maksiat, maka janganlah kalian taat kepadanya.”

Adapun hadis ‘Abdullah bin ‘Amru, maka dia justru berkata, “Maka taatilah dia semampu kalian,” di sini disebutkan pengecualian, yaitu ketaatan hanya pada perintah pada hal yang makruf.

Kemudian pada hadis Ummul Hushain, datang dengan syarat, “Selama dia memimpin kalian dengan Alquran,” dan hadis ‘Ali radhiallahu 'an hu juga menjelaskan hadis ini, yaitu, “Ketaatan hanya dalam hal yang makruf.”

Begitu pula, hadis Ibnu ‘Umar juga menjelaskan bahwa ketaatan hanya pada ketika tidak diperintah dengan kemaksiatan.

Adapun hadis Ibnu Mas'ud dan Anas bin Malik, hadis ini sering ditakwil oleh Ahlul Bid‘ah, hingga mereka mengatakan,

ﺃﻻ ﺗﺮﺍﻩ ﻳﻘﻮﻝ "ﻻ ﻃﺎﻋﺔ ﻟﻤﻦ ﻋﺼﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ" ، ﻓﺈﺫﺍ ﻋﺼﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻢ ﻳﻄﻊ ﻓﻲ ﺷﻲﺀ، ﻭﺇﻥ ﺩﻋﺎ ﺇﻟﻰ ﻃﺎﻋﺔ!

“Apakah kalian tidak melihat ucapan Ibnu Mas'ud, ‘Tidak ada ketaatan bagi siapapun yang bermaksiat kepada Allah,’ sehingga ketika dia bermaksiat kepada Allah, maka ia tidak ditaati pada segala perkara, meskipun dia menyerukan kepada ketaatan!”

Seharusnya setiap yang mutasyabih itu dipahami dengan cara merujuk ke dalil yang jelas (mubayyan/mufassar) sehingga hadis ini yang sangat jelas maknanya lebih utama untuk diikuti dibanding hadis lainnya, maka maksud Ibnu Mas'ud di situ adalah tidak boleh menaati perintah yang mengandung maksiat.

Qadhi ‘Iyyadh berkata dalam Syarh Shahih Muslim,

ﻭﻓﻴﻪ ﻣﺎ ﻳﻠﺰﻡ ﻣﻦ ﻃﺎﻋﺔ ﺍﻷﺋﻤﺔ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻣﺘﻤﺴﻜﻴﻦ ﺑﺎﻹﺳﻼﻡ، ﻭﺍﻟﺪﻋﻮﺓ ﻟﻜﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﻛﻴﻒ ﻣﺎ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻫﻢ ﻓﻰ ﺃﻧﻔﺴﻬﻢ ﻭﺃﻧﺴﺎﺑﻬﻢ ﻭﺃﺧﻼﻗﻬﻢ

“Bisa kita pahami bahwa hadis tersebut mengandung perintah wajib menaati para pemimpin jika mereka dalam keadaan berpegang teguh dengan Islam dan mendakwahkan Alquran meskipun terdapat keburukan pada diri mereka atau nasab mereka atau akhlak mereka.”

Beliau juga berkata,

"ﻣﺎ ﺻﻠﻮﺍ" ، ﺃﻱ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻟﻬﻢ ﺣﻜﻢ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻘﺒﻠﺔ ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ، ﻭﻟﻢ ﻳﺮﺗﺪﻭﺍ ﻭﻳﺒﺪﻟﻮﺍ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭﻳﺪﻋﻮﺍ ﺇﻟﻰ ﻏﻴﺮﻩ . ﻭﺍﻹﺷﺎﺭﺓ ﺃﻳﻀﺎ ﺑﻘﻮﻟﻪ: " ﻋﺒﺪﺍ ﺣﺒﺸﻴﺎ ﻳﻘﻮﺩﻛﻢ ﺑﻜﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ " ﺃﻯ ﺑﺎﻹﺳﻼﻡ ﻭﺣﻜﻢ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺇﻥ ﺟﺎﺭ

“Maksud dari, ‘Selama masih menegakkan salat,’ adalah selama masih di atas hukum ahli kiblat, tidak murtad, tidak mengubah agamanya dan tidak mendakwahkan ke agama lain. Di hadis yang lain, ‘Walaupun seorang budak Habasyah, selama ia memimpin kalian dengan Alquran,’ mengisyaratkan kepada berhukum dengan Islam, yaitu dengan Alquran, meskipun dia zalim.”

Imam ath-Thayyibi berkata dalam Syarh al-Misykah,

".. ﻳﻘﻮﺩﻛﻢ" ﻳﺴﻮﻗﻜﻢ ﺑﺎﻷﻣﺮ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻠﻲ ﻣﺎ ﻫﻮ ﻣﻘﺘﻀﻰ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺣﻜﻤﻪ ..

“‘Selama memimpin kalian,’ maknanya mengatur kalian dengan perintah dan larangan yang sesuai dengan Alquran dan hukum Allah.”

Imam an-Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim,

".. ﻳﻘﻮﺩﻛﻢ ﺑﻜﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ" ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ: ﺃﻱ ﻣﺎ ﺩﺍﻣﻮﺍ ﻣﺘﻤﺴﻜﻴﻦ ﺑﺎﻹﺳﻼﻡ ﻭﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﺇﻟﻰ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﺃﻱ ﺣﺎﻝ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻓﻲ ﺃﻧﻔﺴﻬﻢ ﻭﺃﺩﻳﺎﻧﻬﻢ ﻭﺃﺧﻼﻗﻬﻢ

“‘Selama memimpin kalian dengan Alquran,’ para ulama berkata, maksudnya adalah selama mereka berpegang teguh dengan Islam dan mendakwahkan Alquran dalam posisi apa pun keadaan mereka.”

Imam al-Qari berkata dalam Mirqatu al-Mafatih Syarh Misykah al-Mashabih,

(ﻳﻘﻮﺩﻛﻢ ‏) ﺃﻱ ﻳﺄﻣﺮﻛﻢ ‏(ﺑﻜﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ‏) ﺃﻱ ﺑﺤﻜﻤﻪ ﺍﻟﻤﺸﺘﻤﻞ ﻋﻠﻰ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ

“‘Selama memimpin kalian,’ maksudnya memerintah kalian, ‘dengan Alquran,’ maksudnya dengan hukum Allah dan Rasul-Nya.”

Kuwait, 21 Februari 2017

Penerjemah: Abu Musa al-Mizzi

3 komentar untuk "Benarkah, ”Selama Berhukum dengan Alquran,” Bukan Syarat Ketaatan pada Ulil Amri?"